Minggu, 09 Februari 2014

HAK AZASI MANUSIA



PUTRA MORSIP


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Penerapan HAM di Indonesia masih kurang merata/keseluruhan,hal ini disebabkan karena  masih ada saja perbuatan yang menyalahi HAM atau menginjak- nginjak HAM sehingga tidak mempunyai harga diri lagi. Permasalahan yang lain yang terjadi adalah banyak sekali kasus pelanggaran HAM di Indonesia pada saat ini. Setiap manusia selalu memiliki dua keinginan, yaitu keinginan berbuat baik, dan keinginan berbuat jahat. Keinginan berbuat jahat itulah yang menimbulkan dampak pada pelanggaran hak asasi manusia, seperti membunuh, merampas harta milik orang lain, menjarah dan lain-lain.
Pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi dalam interaksi antara aparat pemerintah dengan masyarakat dan antar warga masyarakat. Namun, yang sering terjadi adalah antara aparat pemerintah dengan masyarakat.Dalam hal ini peran seorang pemimpin negasa  sangatlah penting untuk menghapus masalah Ham di Indonesia. Karena salah satu ciri-ciri kegagalan dalam pemerintahan adalah masih banyaknya rakyat miskin atau tidak sejahtera hidup rakyat. Untuk itu saya membahas masalah implementasi HAM di Indonesia, sejauh mana peran para aparatur Negara dalam menangani kasus HAM di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Implementasi Hak Asasi Manusia
Secara sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan atau penerapan. Majone dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2002), mengemukakan implementasi sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2004:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”. Pengertian implementasi sebagai aktivitas yang saling menyesuaikan juga dikemukakan oleh Mclaughin (dalam Nurdin dan Usman, 2004). Adapun Schubert (dalam Nurdin dan Usman, 2002:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah sistem rekayasa.”
Pengertian-pengertian di atas memperlihatkan bahwa kata implementasi bermuara pada aktivitas, adanya aksi, tindakan, atau mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa implementasi bukan sekadar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan.
Sedangkan Hak Asasi Manusia, sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, memiliki pengertian sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakekat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Pengertian dan definisi HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Jadi, implementasi HAM adalah bagaimana HAM  dilaksanakan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu agar tujua dari HAM dapat tercapai dengan baik.

B.     Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia
1.      Hak asasi pribadi / personal Right
-          Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
-          Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
-          Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
-          Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
2.      Hak asasi politik / Political Right
-          Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
-          hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
-          Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
-          Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi

3.      Hak azasi hukum / Legal Equality Right
-          Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
-          Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
-          Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4.      Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
-          Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
-          Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
-          Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
-          Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
-          Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5.      Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
-          Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
-          Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6.      Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
-          Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
-          Hak mendapatkan pengajaran
-          Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat

C.    Tujuan Implementasi Hak Asasi Manusia
Implementasi merupakan bentuk tindak lanjut atau penerapan, jadi tujuan dari Implementasi Hak Asasi Manusia adalah :
a.       Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
b.      Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
c.       Uuntuk mempertahankan hak-hak warga negara di Indonesia sewenang-wenang aparat negara dan mendorong tumbuh/berkembangnya pribadi manusia yang Multidimensional.

D.    Sasaran  Implementasi Hak Asasi Manusia
Sasaran dari penerapan HAM ini adalah agar setiap manusia dapat menggunakan hak-hak nya sebagai warga negara Indonesia dengan baik, bukan saling menginjak-injak atau merebut hak-hak dari mereka yang di ambil HAM nya. Misal nya hak untuk memperoleh keadilan, hak untuk kemerdekaan, hak untu mengemukakkan pendapatdan masih banyak hak-hak nya. Sehingga akan terwujud keseimbangan social dan kesejahteraan masyarakat.

E.     Penerapan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Jika dilihat dari kehidupan sehari- hari hak asasi manusia di Indonesia hanya berupa kebebasan hidup dan jaminan hidup dari siksaan dan dari kekerasan fisik saja. Sedangkan hal hal lain tentang yang membahas HAM tersebut tidak diperhatikan seperti contoh ; penderitaan kaum tidak mampu, pendidikan dan tentang kepercayaan seseorang atau keyakinan.
  1. Penderitaan Kaum tidak mampu
  2. ika di lihat dari kenyataan yang ada, kaum yang tidak mampu di Indonesia ini semakin banyak dan menjadi pemandangan yang tidak asing lagi . Tetapi pemerintah seperti tidak memperdulikan hal itu, tidak ada sumbangan yang tersalurkan dengan baik kepada kaum tidak mampu . Hal ini membuktikan bahwa pemerintah gagal dalam kesejahteraan masyarakat dan dalam mengharagai HAM untuk kaum tidak mampu.
  3. Pendidikan
Dalam hak asasi manusia ini juga membahas tetang setaip orang berhak memiliki atau mendapatkan pendidikan sama seperti yang lain, untuk di Indonesia dalam penerapan HAM untuk pendidikan masih kurang umumnya dalam pendidikan diluar daerah, khususnya di luar kota-kota besar di Indonesia banyak anak-anak yang ingin bersekolah tetapi tidak cukup biaya atau tidak adanya sekolah didaerah tersebut. Kebanyakan orang tua disana mengiginkan anaknya dapat menghasikan uang saja tanpa adanya pendidikan atau sekolah, sedangkan pada kota kota besar HAM dalam pendidikan ini banyak dilanggar oleh institut pendidikan itu sendiri seperti pada peneriamaan calon siswa atau maha siswa yang pas-pasan, mereka pandai tetapi tidak bisa masuk pada sekolah negeri atau perguruan tinggi negeri karena banyak diantara badan pendidikan tadi lebih memihak pada uangnya saja sedangkan kualitas bagi orang yang kurang mampu mereka hanya menjadi cadangan saja.
  1. Kepercayaan atau keyakinan
Jika kita merujuk pada pasal 28 (e) ayat 2 undang-undang hasil amandemen, di sana disebutkan: Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan fikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. undang-undang ini disempurnakan pula dengan pasal 29 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan: Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, Negara Menjamin Kemerdekaan Tiap-tiap Penduduk untuk memeluk agamanya, dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Undang-undang yang baru disebutkan sebelumnya, pada prinsipnya sudah cukup mapan sebagai jaminan konstitusi untuk kebebasan beragama di Indonesia. Jika ditafsirkan secara bebas, undang-undang ini mencerminkan beberapa prinsip tentang hak kebebasan beragama, yaitu: hak untuk meyakini suatu kepercayaan, dan hak untuk mengekspresikan fikiran serta sikap sesuai dengan hati nurani. Jika saja undang-undang ini terimplementasi dengan baik, barangkali tidak akan ada kelompok yang diklaim sebagai aliran sesat, dan atau jikapun ada, setidaknya mereka yang dinilai sesat masih bebas menikmati haknya untuk tetap hidup dan tumbuh di negeri ini. Bukan sebaliknya, perlakuan terhadap mereka yang dinilai sesat justru mencerminkan penghakiman terhadap keyakinan yang bersumber dari hati nurani mereka. Fenomena yang paling menggelitik adalah, jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama di Indonesia seolah hanya merupakan “macan kertas” yang tidak memiliki power sedikitpun.


F.     Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia
Apabila dilihat dari perkembangan sejarah bangsa Indonesia, ada beberapa peristiiwa besar pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dan mendapat perhatian yang tinggi dari pemerintah dan masyarakat Indonesia, seperti:
1.      Kasus terbunuhnya Marsinah, seorang pekerja wanita PT Catur Putera Surya Porong, Jatim (1994)
Marsinah adalah salah satu korban pekerja dan aktivitas yang hak-hak pekerja di PT Catur Putera Surya, Porong Jawa Timur. Dia meninggal secara mengenaskan dan diduga menjadi korban pelanggaran HAM berupa penculikan, penganiayaan dan pembunuhan.
2.      Peristiwa penculikan para aktivis politik (1998)
Telah terjadi peristiwa penghilangan orang secara paksa (penculikan) terhadap para aktivis yang menurut catatan Kontras ada 23 orang (1 orang meninggal, 9 orang dilepaskan, dan 13 orang lainnya masih hilang).
3.      Kasus terbunuhnya wartawan Udin dari harian umum bernas (1996)
Wartawan Udin (Fuad Muhammad Syafruddin) adalah seorang wartawan dari harian Bernas yang diduga diculik, dianiaya oleh orang tak dikenal dan akhirnya ditemukan sudah tewas.
4.      Peristiwa Aceh (1990)
Peristiwa yang terjadi di Aceh sejak tahun 1990 telah banyak memakan korban, baik dari pihak aparat maupun penduduk sipil yang tidak berdosa. Peristiwa Aceh diduga dipicu oleh unsur politik dimana terdapat pihak-pihak tertentu yang menginginkan Aceh merdeka.
5.      Kasus TKI di Malaysia (2002)
Terjadi peristiwa penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Wanita Indonesia dari persoalan penganiayaan oleh majikan sampai gaji yang tidak dibayar.
6.      Kasus bom Bali (2002) DAN beberapa tempat lainnya
Telah terjadi peristiwa pemboman di Bali, yaitu tahun 2002 dan tahun 2005 yang dilakukan oleh teroris dengan menelan banyak korban rakyat sipil baik dari warga negara asing maupun dari warga negara Indonesia sendiri.
Selain kasusu-kasus besar diatas, terjadi juga pelanggaran Hak Asasi Manusia seperti dilingkungan keluarga, dilingkungan sekolah atau pun dilingkungan masyarakat.
Contoh kasus pelanggaran HAM dilingkungan keluarga antara lain:
1.      Orang tua yang memaksakan keinginannya kepada anaknya (tentang masuk sekolah, memilih pekerjaan, dipaksa untuk bekerja, memilih jodoh).
2.      Orang tua menyiksa/menganiaya/membunuh anaknya sendiri.
3.      Anak melawan/menganiaya/membunuh saudaranya atau orang tuanya sendiri.
4.      Majikan dan atau anggota keluarga memperlakukan pembantunya sewenang-wenang dirumah.
Contoh kasus pelanggaran HAM di sekolah antara lain :
1.      Guru membeda-bedakan siswanya di sekolah (berdasarkan kepintaran, kekayaan, atau perilakunya).
2.      Guru memberikan sanksi atau hukuman kepada siswanya secara fisik (dijewer, dicubit, ditendang, disetrap di depan kelas atau dijemur di tengah lapangan).
3.      Siswa mengejek/menghina siswa yang lain.
4.      Siswa memalak atau menganiaya siswa yang lain.
5.      Siswa melakukan tawuran pelajar dengan teman sekolahnya ataupun dengan siswa dari sekolah yang lain.
Contoh kasus pelanggaran HAM di masyarakat antara lain :
1.      Pertikaian antarkelompok/antargeng, atau antarsuku(konflik sosial).
2.      Perbuatan main hakim sendiri terhadap seorang pencuri atau anggota masyarakat yang tertangkap basah melakukan perbuatan asusila.
3.      Merusak sarana/fasilitas umum karena kecewa atau tidak puas dengan kebijakan yang ada.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari untuk menghargai dan menegakkan HAM antara lain dapat dilakukan melalui perilaku sebagai berikut :
1.      Mematuhi instrumen-instrumen HAM yang telah ditetapkan.
2.      Melaksanakan hak asasi yang dimiliki dengan penuh tanggung jawab.
3.      Memahami bahwa selain memiliki hak asasi, setiap orang juga memiliki kewajiban asasi yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
4.      Tidak semena-mena terhadap orang lain.
5.      Menghormati hak-hak orang lain
Selain upaya di atas Pendidikan HAM juga dapat diimplementasikan sebagai proses penyadaran dan pemberdayaan (conscientization and empowering) masyarakat akan hak dan tanggung jawab sosial yang dipikulnya. Membentuk masyarakat berperadaban (civilized society) adalah tujuan sosialnya, sementara tujuan akhirnya adalah kearifan serta kebahagiaan seluruh umat manusia. Dengan demikian pendidikan HAM harus diupayakan sebagai wahana pembentuk dan pengembangan pribadi dalam upaya pembentukan masyarakat yang beradab (civil society) yang penuh kearifan dan kebahagiaan, lahir maupun batin.
Hakekat dari tujuan akhir (high purpose) pendidikan HAM adalah menciptakan kemakmuran dan kebahagiaan masyarakat di alam semesta. Dengan kata lain, tujuan pendidikan HAM adalah membentuk masyarakat yang sarat moralitas. Pendidikan HAM adalah bagaimana moral dan sistem moral dibangun sebagai fondasi pemerintahan yang baik (good governance) di atas law enforcement yang kuat.
Untuk mewujudkannya, langkah nyata yang diperlukan adalah menggalakkan pemahaman tentang HAM, diantaranya dapat dilakukan melalui sosialisasi nilai-nilai HAM mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Upaya ini dapat pula dilakukan melalui kampanye, diseminasi atau publikasi media massa.
Langkah yang terkoordinasi antara berbagai lapisan masyarakat termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat, pemerintah dan PBB, tentu akan memberi dampak positif bagi upaya pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Langkah lain yang perlu segera dilakukan adalah dicanangkannya kampanye HAM secara nasional, untuk meningkatkan pemahaman HAM dan hak-hak mendasar lainnya. Kegiatan di tingkat nasional dapat pula dikaitkan dengan aktivitas PBB yang telah mencanangkan tahun 1995-2004 sebagai Dekade PBB untuk pendidikan HAM.
Meski sasaran kampanye ini ditujukan kepada masyarakat umum, perlu pula ditekankan bahwa berbagai aparat pemerintah dan penegak hukum pun perlu mendapat perhatian khusus. Tentu saja peran media massa dalam kegiatan ini tidak dapat diabaikan, mengingat kemampuan membentuk opini publik dan dalam penyampaian informasi.
Pasang surut dan perkembangan HAM di Indonesia juga senantiasa terkait dengan institusi-institusi yang mengemban hak-hak strategis masyarakat seperti pers, pengadilan, perguruan tinggi, partai politik, Dewan Perwakilan Rakyat, organisasi kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan sebagainya. Jika sosialisasi HAM dilakukan dan hakekat tujuan pendidikan HAM dapat dipahami dan tertransformasi ke seluruh komponen bangsa dengan baik, besar kemungkinan disintegrasi bangsa tidak perlu terjadi. Pembunuhan, pemerkosaan, tindakan-tindakan keji serta pelanggaran HAM lainnya tidak perlu menghiasi media massa. Paling tidak, berbagai wujud tindak kekerasan yang setiap hari terjadi, semakin berkurang.

G.    Hubungan antara HAM dengan Islam
Hak Asasi Manusia dalam islam tertuang secara transenden untuk kepentingan manusia, lewat syariah islam yang diturunkan melalui wahyu. Menurut syariah, manusia adalah makhluk bebas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab dan karena ia juga mempunyai hak dan kebebasan. Dasarnya adalah keadilan yang ditegakkan atas dasar persamaan atau egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya, tugas yang diemban tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan sementara kebebasan secara eksistensial tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri.
Sistem HAM Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan, kebebasan dan penghormatan terhadap sesama manusia. Persamaan artinya Islam memandang semua manusia sama dan mempunyai kedudukan yang sama, satu-satunya keunggulan yang dinikmati seorang manusia atas manusia lainnya hanya ditentukan oleh tingkat ketakwaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13, yang artinya sebagai berikut :
“Hai Manusia, sesnungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan permpuan dan kamu jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kaum adalah yang paling takwa.”
Sedangkan kebebasan merupakan elemen penting dalam ajaran islam. Kehadiran islam memberikan jaminan pada kebebasan manusia agara terhindar dari kesia-siaan dan tekanan, baik yang berkaitan dengan masalah agama, politik dan ideologi. Pada dasarnya HAM dalam islam terpusat pada lima hal pokok yang terangkum dalam al-dloruriyat al-khomsah atau yang disebut juga al-huquq al-insaniyah fi al-islam (hak-hak asasi manusia dalam islam). Konsep itu mengandung lima hal pokok yang harus dijaga oleh setiap individu yaitu hifdzu al-din (penghormatan atas kebebasan beragama), hifdza al-mal (penghormatan atas harta benda), hifdzu al-nafs wa al-ird(penghormatan atas jiwa, hak hidup dan kehormatan individu) hifdzu al-‘aql (penghormatan atas kebebasan berpikir) dan hifdzu al-nasl (keharusan untuk menjaga keturunan). Kelima pokok inilah yang harus dijaga oleh setiap umat islam supaya menghasilkan tatanan kehidupan yang lebih manusiawi, berdasarkan atas penghormatan individu atas individu, individu dengan masyarakat, masyarakat dengan Negara dan komunitas agama dengan komunitas agama yang lainnya.
Perlindungan Islam terhadap Hak Asasi Manusia
Adapun hak-hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum islam
1.      Hak Hidup
Allah menjamin kehidupan, diantaranya dengan melarang pembunuhan dan meng-qishas pembunuh (lihat QS. 5: 32, QS. 2: 179). Bahkan hak mayit pun dijaga oleh Allah. Misalnya hadist nabi: "Apabila seseorang mengkafani mayat saudaranya, hendaklah ia mengkafani dengan baik." Atau "Janganlah kamu mencaci-maki orang yang sudah mati. Sebab mereka telah melewati apa yang mereka kerjakan." (Keduanya HR. Bukhari).
Hak hidup dibagi atas beberapa hak antara lain:
a. Hak Pemilikan
Islam menjamin hak pemilikan yang sah dan mengharamkan penggunaan cara apapun untuk mendapatkan harta orang lain yang bukan haknya, sebagaimana firman Allah: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan bathil dan janganlah kamu bawa urusan harta itu kepada hakim agar kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa padahal kamu mengetahuinya." (QS. 2: 188). Oleh karena itulah Islam melarang riba dan setiap upaya yang merugikan hajat manusia.
b. Hak Berkeluarga
Allah menjadikan perkawinan sebagai sarana mendapatkan ketentraman. Bahkan Allah memerintahkan para wali mengawinkan orang-orang yang bujangan di bawah perwaliannya (QS. 24: 32). Allah menentukan hak dan kewajiban sesuai dengan fitrah yang telah diberikan pada diri manusia dan sesuai dengan beban yang dipikul individu.
Pada tingkat negara dan keluarga menjadi kepemimpinan pada kepala keluarga yaitu kaum laki-laki. Inilah yang dimaksudkan sebagai kelebihan laki-laki atas wanita (QS. 4: 34). Tetapi dalam hak dan kewajiban masing-masing memiliki beban yang sama. "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya." (QS. 2: 228)
c. Hak Keamanan
Dalam Islam, keamanan tercermin dalam jaminan keamanan mata pencaharian dan jaminan keamanan jiwa serta harta benda. Firman Allah: "Allah yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan." (QS. Quraisy: 3-4).
Diantara jenis keamanan adalah dilarangnya memasuki rumah tanpa izin (QS. 24: 27). Jika warga negara tidak memiliki tempat tinggal, negara berkewajiban menyediakan baginya. Termasuk keamanan dalam Islam adalah memberi tunjangan kepada fakir miskin, anak yatim dan yang membutuhkannya. Oleh karena itulah, Umar bin Khattab menerapkan tunjangan sosial kepada setiap bayi yang lahir dalam Islam baik miskin ataupun kaya. Dia berkata: "Demi Allah yang tidak ada sembahan selain Dia, setiap orang mempunyai hak dalam harta negara ini, aku beri atau tidak aku beri." (Abu Yusuf dalam Al-Kharaj).


d. Hak Keadilan
Diantara hak setiap orang adalah hak mengikuti aturan syari’ah dan diberi putusan hukum sesuai dengan syari’ah (QS. 4: 79). Dalam hal ini juga hak setiap orang untuk membela diri dari tindakan tidak adil yang dia terima. Firman Allah swt: "Allah tidak menyukai ucapan yang diucapkan terus-terang kecuali oleh orang yang dianiaya." (QS. 4: 148).
Merupakan hak setiap orang untuk meminta perlindungan kepada penguasa yang sah yang dapat memberikan perlindungan dan membelanya dari bahaya atau kesewenang-wenangan. Bagi penguasa muslim wajib menegakkan keadilan dan memberikan jaminan keamanan yang cukup. Sabda nabi saw: "Pemimpin itu sebuah tameng, berperang dibaliknya dan berlindung dengannya." (HR. Bukhari dan Muslim).

e. Hak Saling Membela dan Mendukung
Kesempurnaan iman diantaranya ditunjukkan dengan menyampaikan hak kepada pemiliknya sebaik mungkin, dan saling tolong-menolong dalam membela hak dan mencegah kedzaliman. Bahkan rasul melarang sikap mendiamkan sesama muslim, memutus hubungan relasi dan saling berpaling muka. Sabda nabi saw: "Hak muslim terhadap muslim ada lima: menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantar ke kubur, memenuhi undangan dan mendoakan bila bersin." (HR. Bukhari).
2.   Hak Kebebasan Beragama dan Kebebasan Pribadi
Kebebasan pribadi adalah hak paling asasi bagi manusia, dan kebebasan paling suci adalah kebebasan beragama dan menjalankan agamanya, selama tidak mengganggu hak-hak orang lain. Firman Allah: "Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman orang di muka bumi seluruhnya. Apakah kamu memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman semuanya?" (QS. 10: 99).
Untuk menjamin kebebasan kelompok, masyarakat dan antara negara, Allah memerintahkan memerangi kelompok yang berbuat aniaya terhadap kelompok lain (QS. 49: 9). Begitu pula hak beribadah kalangan non-muslim. Khalifah Abu Bakar menasehati Yazid ketika akan memimpin pasukan: "Kamu akan menemukan kaum yang mempunyai keyakinan bahwa mereka tenggelam dalam kesendirian beribadah kepada Allah di biara-biara, maka biarkanlah mereka." Khalid bin Walid melakukan kesepakatan dengan penduduk Hirah untuk tidak mengganggu tempat peribadahan (gereja dan sinagog) serta tidak melarang upacara-upacaranya.

3.   Hak Bekerja
Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak tetapi juga kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan yang perlu dijamin. Nabi saw bersabda: "Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang daripada makanan yang dihasilkan dari usaha tangannya sendiri." (HR. Bukhari). Dan Islam juga menjamin hak pekerja, seperti terlihat dalam hadist: "Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah).

H.    Demokrasi, HAM, dan Negara
HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.
Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan yang lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan kemanusiaan dan ketuhanan.
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta. Karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya, muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial tersebut.
Kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter atau pun legitimasi pragmatis. Namun kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut  dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan ketiga legitimasi diatas akan menjadi kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter.
Konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama. Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan pejabat publik lainnya.
Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.
Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.
Sebagaimana telah berhasil dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebe­narnya berasal dari rumusan Undang-Undang yang telah disah­kan sebe­lum­nya, yaitu UU tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka materi yang sudah diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 27 materi berikut:
1.      Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak memper­tahankan hidup dan kehidupannya.
2.      Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjut­kan keturunan melalui perkawinan yang sah.
3.      Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari ke­ke­rasan dan diskriminasi.
4.      Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskri­minatif atas dasar apapun dan berhak mendapat­kan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat dis­kri­mi­natif itu
5.      Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menu­rut aga­ma­nya, memilih pendidikan dan pengajaran, me­mi­­­lih peker­jaan, memilih kewarganegaraan, memilih tem­pat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
6.      Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini keperca­yaan, me­nya­takan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
7.      Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkum­pul, dan mengeluarkan pendapat.
8.      Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memper­oleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan ling­kungan sosial­nya serta berhak untuk mencari, mem­per­oleh, memiliki, menyim­pan, mengolah, dan menyam­pai­kan informasi dengan menggu­nakan segala jenis saluran yang tersedia.
9.      Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, ke­luar­ga, ke­hor­matan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekua­saannya, serta berhak atas rasa aman dan per­lindungan dari an­caman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
10.  Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak mem­peroleh suaka politik dari negara lain
11.  Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, ber­tempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kese­hatan.
12.  Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perla­ku­an khu­sus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan
13.      Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memung­kinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manu­sia yang ber­martabat
14.  Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewe­nang-wenang oleh siapapun
15.  Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pe­me­nuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidik­an dan memper­oleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kese­jah­teraan umat manusia
16.  Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam mem­perjuangkan haknya secara kolektif untuk mem­ba­ngun ma­sya­rakat, bangsa dan negaranya
17.  Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlin­dung­an, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadap­an hukum
18.  Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbal­an dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja
Jika ke-27 ketentuan yang sudah diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar diperluas dengan memasukkan ele­men baru yang ber­sifat menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga mencakup ketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya, maka ru­mus­an hak asasi manusia dalam Un­dang-Undang Dasar da­pat mencakup lima kelompok materi sebagai berikut:
1.    Kelompok Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan men­jadi:
a.    Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.
b.   Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.
c.    Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbu­dakan.
d.   Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
e.    Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani.
f.    Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di ha­dapan hukum.
g.   Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di ha­dapan hukum dan pemerintahan.
h.   Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
i.    Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melan­jutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
j.    Setiap orang berhak akan status kewarganegaraan.
k.   Setiap orang berhak untuk bebas bertempat tinggal di wi­layah negaranya, meninggalkan dan kembali ke negaranya.
l.    Setiap orang berhak memperoleh suaka politik.
m.   Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perla­kuan dis­kriminatif dan berhak mendapatkan perlin­dungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskrimi­natif tersebut.
Terhadap hak-hak sipil tersebut, dalam keadaan apa­pun atau ba­gai­manapun, negara tidak dapat mengurangi arti hak-hak yang ditentukan dalam Kelompok 1 “a” sampai dengan “h”. Namun, ke­tentuan tersebut tentu tidak di­mak­sud dan tidak dapat diartikan atau digunakan seba­gai dasar untuk membebaskan seseorang dari penun­tutan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diakui menurut ketentuan hukum Internasional. Pembatasan dan penegasan ini penting untuk memas­tikan bahwa ketentuan tersebut tidak dimanfaatkan secara semena-mena oleh pihak-pihak yang berusaha membebaskan diri dari ancaman tuntutan. Justru di sini­lah letak kontro­versi yang timbul setelah ketentuan Pasal 28I Perubahan Kedua UUD 1945 disahkan beberapa waktu yang lalu.

2.   Kelompok Hak-Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya
a.    Setiap warga negara berhak untuk berserikat, ber­kum­pul dan menyatakan pendapatnya secara damai.
b.   Setiap warga negara berhak untuk memilih dan di­pi­lih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat.
c.    Setiap warga negara dapat diangkat untuk mendu­duki ja­batan-jabatan publik.
d.   Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih peker­jaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan.
e.    Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbal­an, dan men­dapat perlakuan yang layak dalam hu­bung­an kerja yang berkeadilan.
f.    Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi.
g.   Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibu­tuh­kan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang ber­martabat.
h.   Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mem­peroleh informasi.
i.    Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendi­dikan dan pengajaran.
j.    Setiap orang berhak mengembangkan dan memper­oleh man­faat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia.
k.   Negara menjamin penghormatan atas identitas bu­da­ya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan per­kembangan za­man dan tingkat peradaban bangsa.
l.    Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebu­dayaan nasional.
m.   Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kema­nusiaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin ke­mer­dekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menja­lankan ajaran agamanya.
3.   Kelompok Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan
a.    Setiap warga negara yang menyandang masalah so­sial, terma­suk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak men­dapat kemudahan dan per­lakuan khusus untuk mem­peroleh kesempatan yang sama.
b.   Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk men­capai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional.
c.    Hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dika­renakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
d.   Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian dan perlin­dungan orangtua, keluarga, masyarakat dan ne­ga­ra bagi per­tumbuhan fisik dan mental serta per­kem­bangan pribadinya.
e.    Setiap warga negara berhak untuk berperan serta da­lam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.
f.    Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang ber­sih dan sehat.
g.   Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang ber­sifat sementara dan dituangkan dalam peraturan per­undangan-un­dangan yang sah yang dimaksudkan un­tuk menyetarakan tingkat perkembangan kelom­pok tertentu yang pernah me­nga­lami perlakuan dis­krimi­nasi dengan kelompok-kelompok lain dalam masya­rakat, dan perlakuan khusus sebagaimana di­ten­tukan dalam ayat (1) pasal ini, tidak termasuk dalam pe­nger­tian diskriminasi sebagaimana ditentu­kan dalam Pasal 1 ayat (13).
4.   Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia
a.    Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b.   Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang dite­tap­kan oleh undang-undang dengan maksud semata-ma­ta untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk meme­nuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai aga­ma, moralitas dan kesusilaan, keamanan dan keter­tib­an umum dalam masyarakat yang demokratis.
c.    Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pema­juan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi ma­nusia.
d.   Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pem­bentukan, susunan dan kedu­dukannya diatur dengan undang-undang.
Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konsti­tusional terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan diang­gap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipa­hami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung­jawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidup­nya sejak sebe­lum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki seba­gai manusia. Pembentukan negara dan pemerin­tahan, untuk alas­­an apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewa­jiban yang disandang oleh setiap ma­nu­sia. Karena itu, jaminan hak dan kewajiban itu tidak diten­tukan oleh kedu­dukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang di ma­na­pun ia berada harus dija­min hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagai­mana mestinya. Keseim­bangan kesadaran akan ada­nya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pan­dangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bangsa Indonesia memahami bahwa The Universal Declaration of Human Rights yang dicetuskan pada tahun 1948 merupakan per­nyataan umat manusia yang mengan­dung nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia juga memandang bahwa The Universal Declaration of Human Responsibility yang dicetuskan oleh Inter-Action Council pada tahun 1997 juga mengandung nilai universal yang wajib dijunjung tinggi un­tuk melengkapi The Universal Declaration of Human Rights tersebut. Kesa­daran umum mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia itu menjiwai keseluruhan sistem hukum dan konstitusi Indonesia, dan karena itu, perlu di­adop­sikan ke dalam rumusan Undang-Un­dang Dasar atas dasar pengertian-pengertian dasar yang dikem­bangkan sen­diri oleh bangsa Indonesia. Karena itu, perumusannya dalam Undang-Undang Dasar ini mencakup warisan-warisan pemi­kiran mengenai hak asasi manusia di masa lalu dan menca­kup pula pemi­kiran-pemikiran yang masih terus akan ber­kem­bang di masa-masa yang akan datang.
Perkembangan Demokrasi dan HAM
Sejak awal abad ke-20, gelombang aspirasi ke arah kebe­basan dan kemerdekaan umat manusia dari penin­dasan penjajahan me­ningkat tajam dan terbuka dengan menggu­nakan pisau demokrasi dan hak asasi manusia sebagai instrumen perjuangan yang efektif dan membebaskan. Puncak perjuangan kemanusiaan itu telah menghasilkan perubahan yang sangat luas dan mendasar pada pertengahan abad ke-20 dengan munculnya gelombang dekolonisasi di seluruh dunia dan menghasilkan berdiri dan terbentuknya negara-negara baru yang merdeka dan berdaulat di berbagai belahan dunia. Perkembangan demokratisasi kembali terjadi dan menguat pasca perang dingin yang ditandai runtuhnya kekuasaan komunis Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini kemudian diikuti proses demokratisasi di negara-negara dunia ketiga pada tahun 1990-an.
Semua peristiwa yang mendorong mun­culnya gerakan kebebasan dan kemerdekaan selalu mempunyai ciri-ciri hubungan kekuasaan yang menindas dan tidak adil, baik dalam struktur hubungan antara satu bangsa dengan bangsa yang lain maupun dalam hubungan antara satu pemerintahan dengan rakyatnya. Dalam wacana perjuangan untuk kemerde­kaan dan hak asasi manusia pada awal sampai pertengahan abad ke-20 yang menonjol adalah perjuangan mondial bangsa-bangsa terjajah menghadapi bangsa-bangsa penjajah. Karena itu, rakyat di semua negara yang terjajah secara mudah ter­bangkitkan semangatnya untuk secara bersama-sama menya­tu dalam gerakan solidaritas perjuangan anti penja­jahan.
Sedangkan yang lebih menonjol selama paruh kedua abad ke-20 adalah perjuangan rakyat melawan pemerintahan yang otoriter. Wacana demokrasi dan kerakyatan di suatu negara, tidak mesti identik dengan gagasan rakyat di negara lain yang lebih maju dan menikmati kehidupan yang jauh lebih demokratis. Karena itu, wacana demokrasi dan hak asasi manusia di zaman sekarang juga digunakan, baik oleh kalangan rakyat yang merasa tertindas maupun oleh peme­rintahan negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk mempromosikan demo­krasi dan hak asasi manusia di negara-negara lain yang dianggap tidak demokratis.
Dengan perkataan lain, masalah pertama yang kita ha­dapi dewasa ini adalah bahwa pemahaman terhadap konsep hak asasi manusia itu haruslah dilihat dalam konteks rela­tionalistic perspectives of power yang tepat. Bahkan, konsep hubungan kekuasaan itu sendiripun juga mengalami perubah­an berhubung dengan kenyataan bahwa elemen-elemen kekuasaan itu dewasa ini tidak saja terkait dengan kedudukan politik melainkan juga terkait dengan kekuasaan-ke­kuasaan atas sumber-sumber ekonomi, dan bahkan tekno­logi dan industri yang justru memperlihatkan peran yang makin penting dewasa ini. Oleh karena itu, konsep dan prosedur-pro­sedur hak asasi manusia dewasa ini selain harus dilihat dalam konteks hubungan kekuasaan politik, juga harus di­kaitkan dengan konteks hubungan kekuasaan ekonomi dan industri.
Dalam kaitan dengan itu, pola hubungan kekuasaan dalam arti yang baru itu dapat dilihat sebagai hubungan produksi yang menghubungkan antara kepentingan produsen dan kepentingan konsumen. Dalam era industrialisasi yang terus meningkat dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat dewasa ini, dinamika proses produksi dan konsumsi ini terus berkembang di semua sektor kehidup­an kemasya­rakatan dan kenegaraan umat manusia dewasa ini. Kebijakan politik, misalnya, selain dapat dilihat dengan kacamata biasa, juga dapat dilihat dalam konteks produksi. Negara, dalam hal ini meru­pakan produsen, sedangkan rakyat adalah konsu­mennya. Karena itu, hak asasi manusia di zaman sekarang dapt dipahami secara konseptual sebagai hak konsumen yang harus dilindungi dari eks­ploitasi demi keuntungan dan kepentingan sepihak kalangan produsen.
Dalam hubungan ini, konsep dan prosedur hak asasi manusia mau tidak mau harus dikaitkan dengan persoalan-persoalan:
1.   Struktur kekuasaan dalam hubungan antar negara yang dewasa ini dapat dikatakan sangat timpang, tidak adil, dan cenderung hanya menguntungkan negara-negara maju ataupun negara-negara yang menguasai dan mendo­minasi proses-proses pengambilan keputusan dalam berbagai forum dan badan-badan internasional, baik yang menyang­kut kepen­tingan-kepentingan politik maupun kepen­tingan-kepentingan ekonomi dan kebudayaan.
2.   Struktur kekuasaan yang tidak demokratis di lingkungan internal negara-negara yang menerapkan sistem otori­tarianisme yang hanya menguntungkan segelintir kelas pen­duduk yang berkuasa ataupun kelas penduduk yang menguasai sumber-sumber ekonomi.
3.   Struktur hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara pemodal dengan pekerja dan antara pemodal beserta mana­jemen produsen dengan konsumen di setiap ling­kungan dunia usaha industri, baik industri primer, industri manufaktur maupun industri jasa.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pola hubungan “atas-bawah”, baik pada peringkat lokal, nasional, regional maupun global antara lain adalah faktor kekayaan dan sumber-sumber ekonomi, kewenangan politik, tingkat pendidikan atau kecerdasan rata-rata, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, citra atau nama baik, dan kekuatan fisik termasuk kekuatan militer. Makin banyak faktor-faktor tersebut di atas dikuasai oleh seseorang, atau sekelom­pok orang ataupun oleh suatu bangsa, makin tinggi pula kedudukannya dalam stratifikasi atau peringkat pergaulan bersama. Di pihak lain, makin tinggi peringkat seseorang, kelompok orang ataupun suatu bangsa di atas orang lain atau kelompok lain atau bangsa lain, makin besar pula kekuasaan yang dimilikinya serta makin besar pula potensinya untuk memperlakukan orang lain itu secara sewenang-wenang demi keuntungannya sendiri. Dalam hubungan-hubungan yang timpang antara negara maju dengan negara berkembang, antara suatu pemerintahan dengan rakyatnya, dan bahkan antara pemodal atau pengusaha dengan konsumennya inilah dapat terjadi ketidakadilan yang pada gilirannya mendorong­nya munculnya gerakan perjuangan hak asasi manusia dimana-mana. Karena itu, salah satu aspek penting yang tak dapat dipungkiri berkenaan dengan persoalan hak asasi manusia adalah bahwa persoalan ini berkaitan erat dengan dinamika perjuangan kelas (meminjam istilah Karl Marx) yang menuntut keadilan.
Sering dikemukakan bahwa pengertian konseptual hak asasi manusia itu dalam sejarah instrumen hukum internasional setidak-tidaknya telah melampaui tiga generasi perkembangan. Ketiga generasi perkembangan konsepsi hak asasi manusia itu adalah:
Generasi Pertama, pemikiran mengenai konsepsi hak asasi manusia yang sejak lama berkembang dalam wacana para ilmuwan sejak era enlightenment di Eropa, meningkat menjadi dokumen-dokumen hukum internasional yang resmi. Puncak perkembangan generasi pertama hak asasi manusia ini adalah pada persitiwa penandatanganan naskah Universal Declaration of Human Rights Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 setelah sebelumnya ide-ide perlin­dungan hak asasi manusia itu tercantum dalam naskah-naskah bersejarah di beberapa negara, seperti di Inggris dengan Magna Charta dan Bill of Rights, di Amerika Serikat dengan Declaration of Indepen­dence, dan di Perancis dengan Decla­ration of Rights of Man and of the Citizens. Dalam konsepsi generasi pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.
Pada perkembangan selanjutnya yang dapat disebut sebagai hak asasi manusia Generasi Kedua, di samping adanya International Couvenant on Civil and Political Rights, konsepsi hak asasi manusia mencakup pula upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan penemuan-pene­muan ilmiah, dan lain-lain sebagainya. Puncak perkembangan kedua ini tercapai dengan ditanda­tanganinya International Couvenant on Eco­nomic, Social and Cultural Right pada tahun 1966.
Kemudian pada tahun 1986, muncul pula konsepsi baru hak asasi manusia yaitu mencakup pengertian mengenai hak untuk pembangunan atau rights to development. Hak atas atau untuk pembangunan ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut. Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil pemba­ngunan tersebut, menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya. Konsepsi baru inilah yang oleh para ahli disebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Ketiga.
Namun demikian, ketiga generasi konsepsi hak asasi manusia tersebut pada pokoknya mempunyai karakteristik yang sama, yaitu dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, antara rakyat dan peme­rintahan dalam suatu negara. Setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia mulai dari generasi pertama sampai ketiga selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa dikategorikan sebagai crime by government yang termasuk ke dalam pengertian political crime (kejahatan politik) sebagai lawan dari pengertian crime against government (kejahatan terhadap kekuasaan resmi). Karena itu, yang selalu dijadikan sasaran perjuangan hak asasi manusia adalah kekuasaan represif negara terhadap rakyatnya. Akan tetapi, dalam perkembangan zaman sekarang dan di masa-masa mendatang, sebagaimana diuraikan di atas dimensi-dimensi hak asasi manusia itu akan berubah makin kompleks sifatnya.
Persoalan hak asasi manusia tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan kekua­saan yang bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubungan-hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal, antar kelompok masyarakat, antara golongan rakyat atau masyarakat, dan bahkan antar satu kelompok masyarakat di suatu negara dengan kelompok masyarakat di negara lain.
Konsepsi baru inilah yang saya sebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Keempat seperti telah saya uraikan sebagian pada bagian terdahulu. Bahkan sebagai alternatif, menurut pendapat saya, konsepsi hak asasi manusia yang terakhir inilah yang justru tepat disebut sebagai Konsepsi HAM Generasi Kedua, karena sifat hubungan kekuasaan yang diaturnya memang berbeda dari konsepsi-konsep HAM sebelumnya. Sifat hubungan kekuasaan dalam konsepsi Generasi Pertama bersifat vertikal, sedang­kan sifat hubungan kekuasaan dalam konsepsi Generasi Kedua bersifat horizontal. Dengan demikian, pengertian konsepsi HAM generasi kedua dan generasi ketiga sebelumnya cukup dipahami sebagai perkembangan varian yang sama dalam tahap pertumbuhan konsepsi generasi pertama.
Menjelang berakhirnya abad ke-20, kita menyaksikan munculnya beberapa fenomena baru yang tidak pernah ada ataupun kurang mendapat perhatian di masa-masa sebelum­nya. Pertama, kita menyaksikan munculnya fenomena konglo­merasi berbagai perusahaan berskala besar dalam suatu negara yang kemudian berkembang menjadi Multi National Corporations (MNC’s) atau disebut juga Trans-National Corpo­rations (TNC’s) dimana-mana di dunia. Fenomena jaringan kekuasaan MNC atau TNC ini merambah wilayah yang sangat luas, bahkan jauh lebih luas dari jangkauan kekuasaan negara, apalagi suatu negara yang kecil yang jumlahnya sangat banyak di dunia. Dalam kaitannya dengan kekuasaan perusa­haan-peru­sahaan besar ini, yang lebih merupakan persoalan kita adalah implikasi-implikasi yang ditimbulkan oleh kekuasaan modal yang ada di balik perusa­haan besar itu terhadap kepentingan konsumen produk yang dihasilkannya. Dengan perkataan lain, hubungan kekuasaan yang dipersoalkan dalam hal ini adalah hubungan kekuasaan antara produsen dan konsumen. Masalahnya adalah bagaimana hak-hak atau kepentingan-kepentingan konsumen tersebut dapat dijamin, sehingga proses produksi dapat terus dikembangkan dengan tetap menjamin hak-hak konsumen yang juga harus dipandang sebagai bagian yang penting dari pengertian kita tentang hak asasi manusia.
Kedua, abad ke-20 juga telah memunculkan fenomena Nations without State, seperti bangsa Kurdi yang tersebar di berbagai negara Turki dan Irak; bangsa Cina Nasionalis yang tersebar dalam jumlah yang sangat besar di hampir semua negara di dunia; bangsa Persia (Iran), Irak, dan Bosnia yang terpaksa berkelana kemana-mana karena masalah-masalah politik yang mereka hadapi di negeri asal mereka. Persoalan status hukum kewarganegaraan bangsa-bangsa yang terpaksa berada di mana-mana tersebut, secara formal memang dapat diatasi menurut ketentuan hukum yang lazim. Misalnya, bangsa Kurdi yang tinggal di Irak Utara sudah tentu berkewar ganegaraan Irak, mereka yang hidup dan menetap di Turki tentu berkewarganegaraan Turki, dan demikian pula mereka yang hidup di negara-negara lain dapat menikmati status keawarganegaraan di negara mana mereka hidup. Akan tetapi, persoalan kebangsaan mereka tidak serta merta terpecahkan karena pengaturan hukum secara formal tersebut.
Ketiga,  dalam kaitannya dengan fenomena pertama dan kedua di atas, mulai penghujung abad ke-20 telah pula berkem­bang suatu lapisan sosial tertentu dalam setiap masya­rakat di negara-negara yang terlibat aktif dalam pergaulan internasional, yaitu kelompok orang yang dapat disebut sebagai global citizens. Mereka ini mula-mula berjumlah sedikit dan hanya terdiri dari kalangan korps diplomatik yang membangun kelompok pergaulan tersendiri. Di kalangan mereka ini berikut keluarganya, terutama para diplomat karir yang tumbuh dalam karir diplomat yang berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, terbentuk suatu jaringan pergaulan tersendiri yang lama kelamaan menjadi suatu kelas sosial tersendiri yang terpisah dari lingkungan masya­rakat yang lebih luas.




BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan dan Saran
Pada kesimpulannya, implementasi HAM di Indonesia masih kurang merata, dan pemerintah seperti tidak memperdulikan akan hal itu. Undang-undang mengenai HAM hanya digunakan sebagai tulisan semata, tidak ada implementasi secara nyata. Sehingga semakin banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Dan dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi banyak sekali upaya yang dapat dilakukan seperti memberikan pendidikan HAM sejak dini dan dapat juga dilakukan melalui sosialisasi nilai-nilai HAM mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Upaya ini dapat pula dilakukan melalui kampanye, diseminasi atau publikasi media massa. Selain dari Implementasi yang  nyata, kita juga harus mempunyai kesadaran dalam diri kita untuk saling menghormati sesama.
Harapan saya kepada pemerintah agar pemerintah lebih peka akan kasus-kasus pelanggaran HAM, tidak hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kelompoknya saja tetapi juga harus memikirkan nasib seluruh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat menengah kebawah. Pemerintah harus sadar bahwa mereka dipilih oleh masyarakat, dan masyarakat sudah menaruh harapan dan kepercayaan dalam pengelolaan Negara, sehingga pemerintah mempunyai kewajiban melaksanakan amanah dari masyarakat dan tidak mengecewakan masyarakat yang telah memilih dan meletakkan kepercayaan mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
__________, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Ferejohn, John, Jack N. Rakove, and Jonathan Riley (eds). Constitutional Culture and Democratic Rule. Cambridge: Cambridge University Press, 2001.
Fukuyama, Francis. Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21. Judul Asli: State Building: Governance and World Order in the 21st Century. Penerjemah: A. Zaim Rofiqi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Giddens, Anthony. The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Judul Asli: The Constitution of Society: The Outline of the Theory of Structuration. Penerjemah: Adi Loka Sujono. Pasuruan; Penerbit Pedati, 2003.
Huntington, Samuel P. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Norman: University of Oklahoma Press, 1991.
Republik Indonesia, Himpunan Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 s/d 2002, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002.
Sabine, George H. A History of Political Theory. Third Edition. New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London: Holt, Rinehart and Winston, 1961.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar